Majalengka, JURNALPOST.CLICK– Berawal dari kisah seorang gadis yang bernama Sulasih harus kehilangan cinta karena perbedaan kasta dengan kekasihnya, Sulandono seorang Bangsawan.
Penolakan ayah Sulandono menyebabkan berakhirnya kisah asmara mereka. Sulandono memilih bertapa dan Sulasih memilih jadi penari.
Meski telah berpisah, pertemuan diantara mereka terus berlanjut dengan bantuan Dewi Lanjar, seorang tokoh legendaris yang melambangkan kekuatan perempuan dan kehidupan laut utara.
Saat Sulasih dan Sulandono bertemu di alam ghaib, Dewi Lanjar lah yang merasuki tubuh Sulasih menambah pesona penari yang tengah menghibur rakyat itu.
Lalu melintasi ruang dan waktu sampai hari ini, dalam pertunjukan seorang penari perempuan yang harus menjaga kesucian dan kesetiaannya menjadi medium yang dipercaya dirasuki oleh kekuatan Dewi Lanjar.
Dengan mata tertutup, si penari seolah berada dalam keadaan trans, tubuhnya diikat, dikurung dan melepaskan diri, semua itu melambangkan kepasrahan serta kekuataan kepada kekuatan gaib Dewi Lanjar tersebut.
Sintren! Inilah pertunjukan yang dinamai Sintren, Si Putri Bidadari yang bertahan menjaga kesuciannya di tengah gempuran zaman kebebasan seperti dewasa ini.
Dalam pentas sintren, hubungan antara kasta dan kekuasaan terlihat dari peran pendukung seperti pawang dan tim yang menjadi mediator antara dunia nyata (si penari) dengan dunia gaib (Dewi Lanjar).
Kekuasaan spiritual ini menunjukkan meskipun perempuan secara tradisional berada di bawah struktur patriarki, melalui sintren mereka menjadi simbol cinta, kesetiaan, kesucian, kekuatan, perjuangan dan keindahan mistis.
Selamat menghayati!
*) Penulis: Lili Sugiri (Abah Iwok)/Abah Geri
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Jurnalpost.click.


